Thursday, April 9, 2015

HUKUM TENTANG ORANG DAN BENDA

Sebelumnya saya akan membahas tentang orang-orang yang tidak cakap hukum terlebih dahulu saya jelaskan beberapa pengertiannya.
1.      HUKUM TENTANG ORANG
a.      Pengertian Orang
Dalam hukum, perkataan orang (person) berarti pembawa hak dan kewajiban (subyek) di dalam hukum. Dimaksud dengan orang atau subyek hukum, dapat diartikan sebagai manusia (naturlijkperson) atau badan hukum (rechtsperson).
Selain pengertian diatas, orang juga mempunyai arti sebagai keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang subjek hukum dan wewenangnya, kecakapannya, domisili, dan catatan sipil.
Dalam definisi diatas terkandung dua cakupan yaitu wewenang subjek hukum dan ruang lingkup pengaturan hukum orang. Wewenang pada dasarnya merupakan hak dan kekuasaan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum.
Hukum tentang orang (personenrecht) dalam Burgerlijk Wetboek (BW) diatur dalam Buku I yang berjudul Van Personen yang terdiri atas peraturan-peraturan yang mengenai subjek hukum. Disamping itu memuat juga peraturan –peraturan mengenai hubungan keluarga, yaitu mengenai:
       -      Perkawinan dan hak-hak kewajiban suami
       -      Kekayaan perkawinan
       -      Kekuasaan orang tua
       -      Perwalian dan pengampuan
b.    Orang sebagai Subjek Hukum
Istilah subjek hukum berasal dari bahasa Belanda yaitu rechtsubject atau law of subject (Inggris). Subjek hukum secara umum bermakna segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus disertai dengan kecakapan dan kewenangan hukum yang lazim disebut dengan rechtsbekwaaniheid (kecakapan hukum) dan rechtsbevoegdheid (kewenangan hukum).
            Setiap manusia baik warga negara maupun orang asing dengan tidak memandang agama maupun kebudayaan, sejak dilahirkan sampai meninggal dunia adalah sebagai subjek hukum, atau pendukung baik hak maupun kewajiban. Sebagai sunjek hukum manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum, misalnya mengadakan persetujuan-persetujuan, perkawinan, membuat testament, dan memberikan hibah.
Jadi, pada dasarnya manusia sejak lahir memperoleh hak dan kewajibannya. Namun apabila ia meninggal dunia, maka hak dan kewajibannya akan beralih kepada ahli warisnya. Misalnya, kepentingan anak untuk menjadi ahli waris dari orang tuanya, walaupun ia masih berada dalam kandungan karena ia dianggap telah lahir dan harus diperhitungkan hak-haknya sebagai ahli waris, tetapi jika ia lahir dalam keadaan meninggal maka haknya putus atau dianggap tidak ada. (Sebagaimana diatur pada pasal 2 KUH Perdata ayat (1) dan (2)).
Mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan pasal 1330 KUH perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian  adalah Orang-orang yang belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun), Orang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) yang terjadi karena   gangguan jiwa pemabuk atau pemboros, dan Orang wanita dalam perkawinan yang berstatus sebagai istri.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 30 KUH Perdata jo. stb. 1931 No. 54 yang dikatakan belum “dewasa” adalah orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin dan apabila perkawinan mereka dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun maka mereka tetap dianggap dewasa, atau kedudukan mereka tidak kembali pada kedudukan sebelum dewasa.
Dari uraian-uraian di  atas dapat disimpulkan, bahwa setiap orang berkedudukan sama dalam hukum, setiap orang adalah subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, namun tidak setiap orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Dan bagi orang yang tidak cakap maka hak dan kewajibannya diwakili oleh walinya.

2.        Hukum Tentang Benda
a.      Pengertian Benda
Istilah benda merupakan terjemahan dari kata zaak (belanda). Benda dalam arti ilmu pengetahuan adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum yaitu sebagai lawan dari subyek hukum. Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok (obyek) suatu hubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subyek hukum. Pengertian benda (zaak) dalam perpekstif hukum dinyatakan dalam pasal 499 KUH Perdata, sebagai berikut :
Menurut paham undang-undang yang dinamakan dengan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dikuasai oleh hak milik.
b.      Pembagian Benda
Berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi dua, yaitu benda yang bersifat Kebendaan (Materiekegoderen), dan benda yang bersifat Tidak Kebendaan (Immateriekegoderan).
1.         Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen), merupakan suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah/berwujud, meliputi:
a.       Benda bergerak/tidak tetap, berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan, dibedakan menjadi sebagai berikut:
-          Benda bergerak karena sifatnya, menurut pasal 509 KUH Perdata adalah benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja, kursi, dan yang dapat berpindah sendiri contohnya ternak.
-Benda bergerak karena ketentuan undang-undang, menurut pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak, misalnya hak memungut hasil (Uruchtgebruik) atas benda-benda bergerak, hak pakai (Gebruik) atas benda bergerak, dan saham-saham perseroan terbatas.
b.      Benda tidak bergerak; Benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
-          Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, misalnya pohon, tumbuh-tumbuhan, area, dan patung.
-          Benda tidak bergerak karena tujuannya yakni mesin alat-alat yang dipakai dalam pabrik. Mesin senebar benda bergerak, tetapi yang oleh pemakainya dihubungkan atau dikaitkan pada bergerak yang merupakan benda pokok.
-          Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang, ini berwujud hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak misalnya hak memungut hasil atas benda yang tidak dapat bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak dan hipotik. Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak (seperti : hak opstal, hak hipotek, hak tanggungan dan sebagainya) Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas (WvK)
Perbedaan mengenai benda bergerak dan benda tak bergerak tersebut penting artinya, karena adanya ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-masing golongan benda tersebut, misalnya : pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut :
·  Mengenai hak bezit; Untuk benda bergera ada ketentuan dalam pasaL 1997 ayat (1) BW yang menentukan, barang siapa yang menguasai bendaa bergerak dianggap ia sebagai pemiliknya.
·  Mengenai pembebanan (bezwaring); Terhadap benda bergerak harus digunakan lembaga jaminan gadai (pand). Sedangkan benda tak bergerak harus digunakan lembaga jaminan hyphoteek. (pasal 1150 dan pasal 1162 BW).
·  Mengenai penyerahan (levering); Pasal 612 BW menetapkan bahwa penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata. Sedangkan benda tak bergerak, menurut pasal 616 BW harus dilakukan dengan balik nama pada daftar umum.
·  Mengenai kedaluarsa (verjarinng); Terhadap benda bergerak tidak dikenal daluarsa, sebab bezti sama dengan eigendom. Sedangkan benda tak bergerak mengenai kadaluarsa. Seseorang dapat mempunyai hak milik karena lampaunya 20 tahun (dalam hal ada alas yang sah) atau 30 tahun (dalam hal tidak ada alas hak), yang disebut dengan “acquisitive verjaring”.
·  Mengenai penyitaan (beslag); Revindicatior beslag adalah penyitaan untuk menuntut kembali suatu benda bergerak miliknya pemohon sendiri yang ada dalam kekuasaan orang lain.
2.         Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderen), merupakan suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan, paten, dan ciptaan musik / lagu.
c.     Tentang hak-hak kebendaan :
a)    Bezit, ialah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaan sendiri, yang oleh hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa.
b)    Eigendom, ialah hak yang paling sempurna atas suatu benda seorang yang mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan,, bahkan merusak)
c)    Hak-hak kebendaan di atas benda orang lain, ialah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan.
d)    Pand dan Hypotheek, ialah hak kebendaan ini memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi dijadikan jaminan bagi hutang seseorang.
e)    Piutang-piutang yang diberikan keistimewaan (privilage), ialah suatu keadaan istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang melulu berdasarka sifat piutang.
f)    Hak Reklame, ialah hak penjual untuk meminta kembali barang yang telah dijualnya apabila pembeli tidak melunasi pembayarannya dalam jangka waktu 30 hari.
         Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun. Ketidakseragaman ini juga kita temui dalam berbagai putusan hakim yang contohnya kami kutip dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur)terbitan NLRP berikut ini:

-          Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/PN.Plg tanggal 24 Juli 1974 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang No. 41/1975/PT.PERDATA tanggal 14 Agustus 1975 (hal. 143), dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberi nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 21 tahun. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa seseorang yang belum berumur 21 tahun dianggap masih di bawah umur atau belum dewasa sehingga ayahnya berkewajiban untuk menafkahinya sampai anak tersebut berumur 21 tahun, suatu kondisi di mana anak tersebut telah dewasa, dan karenanya telah mampu bertanggung jawab penuh dan menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum. Dalam kasasi di Mahkamah Agung, dengan Putusan MA RI No.477/K/ Sip./1976 tanggal 2 November 1976, majelis hakim membatalkan putusan pengadilan tinggi dan mengadili sendiri, di mana dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberian nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 18 tahun. Majelis hakim berpendapat bahwa batasan umur anak yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21 Tahun. Dengan demikian, dalam umur 18 tahun, seseorang telah dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum. Keputusan ini tepat, mengingat Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa seseorang yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian adalah yang belum berumur 18 tahun.

-  Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 1 15/Pdt.P/2009/PN. Jaktim Tanggal 17 Maret 2009 (hal. 145). Hakim menggunakan pertimbangan bahwa batasan umur dewasa seseorang untuk cakap bertindak secara hukum mengacu pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan mendasarkan pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menunjukkan bahwa hakim berpendapat batasan umur yang digunakan sebagai parameter untuk menentukan kecakapan untuk berbuat dalam hukum adalah telah berumur 18 tahun.
Bahkan di antara para hakim pun belum ada keseragaman dalam menerapkan batasan usia dewasa. Beberapa artikel berikut yang menunjukkan ketidakseragaman batasan usia dewasa dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dapat Anda simak juga:


SUMBER


Nama : Yudo Trilaksono
Kelas : 2EB08
NPM  : 29213550